Selamat Terbang, Burung! Jangan biarkan burung (pemikiran) anda terkurung dalam tempurung kepala anda. Biarkan dia terbang bebas di angkasa. Menembus badai, menantang matahari.

Halaman

Kamis, 19 Januari 2012

Hati - Hati Mengendarai Mobil Ke Puncak

Udah lama banget sebenernya ni kejadian. Sekitar bulan November tahun 2011 kemaren. Sebenernya kisah gue ini udah sangat umum dan udah banyak yang bahas di Internet.

Waktu itu gue berangkat sekitar jam 8:00 ke Puncak, perjalanan sih lancar - lancar saja sampai ketika 1 km sebelum Cibodas, rem mobil gue udah mulai sedikit tidak gigit (pakem, red) tapi gue tetep santai aja gue kira ga ada apa-apa, sampai tercium yang gue kira bau kopling, gue kira itu baunya bukan berasal dari mobil gue. Tetapi untuk memastikan gue akhirnya menepikan mobil gue untuk mengetahui dari mana bau itu berasal. ketika gue mau menepikan mobil gue mulai lah keluar asap dari ban depan sebelah kiri mobil gue. deng! gue mencoba untuk tidak panik, ketika gue menepikan mobil gue dan turun dari mobil, gue mau nyiram pelek mobil gue pake air mineral, tapi ada tukang ojek motor yang sebelumnya bantu gue markirin mobil ketika menepi melarang gue untuk menyiram pelek mobil gue karena katanya akan malah memperparah kondisi. Si tukang ojek ini menyarankan gue untuk bawa mobil gue ke bengkel, ternyata sekitar 10 meter dari mobil gue ada bengkel mobil. Hampir saja gue membawa mobil gue ke bengkel itu, tapi gue dan temen gue punya inisiatif untuk menelpon Senior gue yang juga terlibat di acara yang sama. Ketika temen gue menjelaskan keadaan yang kami alami, tiba-tiba montir dari bengkel yang jaraknya sekitar dari 10 meter dari mobil gue menghampiri mobil gue. dia menyarankan untuk bawa mobilnya ke bengkelnya. Terus dia bilang kalo **** gue udah kebalik, tanda bintang (*) itu bukan maksud gue sensor, tapi gue ga dengar secara jelas bagian apa yang si montir bilang udah kebalik.

Mungkin karena gue panik gue ingin langsung masukin mobil gue ke bengkel si montir, tapi senior gue meyakinkan gue kalo ga perlu dimasukkin ke bengkel mobil gue, karena senior gue curiga kalo mobil gue "dikerjain". Akhirnya gue memutuskan untuk ga masukin mobil gue ke bengkel.

Gue melanjutkan perjalanan, tapi baru beberapa puluh meter ban mobil gue kembali mengeluarkan bau -yang ternyata- rem. Dan rem ban kiri depan gue kembali mengeluarkan asap. Gue memutuskan untuk menepikan mobil gue kembali, entah apa alasan gue, gue ga ngecek ban gue tapi gue malah buka kap mobil gue. dengen kesoktahuan gue, gue coba celingak-celingkuk ngeliatin isi kap mobil gue, terus tiba-tiba ada laki-laki yang sepertinya warga sekitar menghampiri mobil gue dan dia langsung aja bilang kalo yang bermasalah itu rem gue. WOW! nih orang kayanya muridnya ki joko bodo dateng-dateng langsung tau masalah pada mobil gue, padahal dia baru aja datang dan belom liat apa-apa kecuali liat gue yang celingak-celinguk ngeliatin isi kap mobil gue. Padahal gue lagi buka kap mobil kenapa dia langsung bilang rem gue yang bermasalah? gue mulai yakin bahwa kecurigaan senior gue yang bilang gue lagi "dikerjain" itu benar.

Belum selesai sampai di situ, montir yang tadi ada di TKP pertama nyamperin mobil gue pake motor. Dia mencoba meyakinkan mobil gue untuk masuk bengkel. Sudah jelas tanda-tanda gue emang benar-benar sendang "dikerjain". Gue langsung nyuruh temen gue masuk ke dalam mobil dan gue langsung cabut dari tempat itu. Gue bawa mobil pelan-pelan dan Alhamdulillah sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Di tempat tujuan gue dikasih tau sama senior gue kalo pelek gue tadi disiram oli biar kampas rem gue itu ga gigit karena efek licin yang diberikan oli, akibatnya gesekan antara rem dan kampas rem pun ga maskimal dan ngebuat rem gue jadi ga pakem. Akibat gesekan yang tidak sempurna kam-pas rem gue pun akhirnya mengeluarkan asap.

Alhamdulillah gue pulang ke rumah dengan selamat walaupun pas gue pulang dari puncak itu hujan cukup deras dari Puncak sampai UKI.

Selasa, 10 Januari 2012

Refleksi Diri

Ya, refleksi diri yang kali ini gue tulis dalam blog gue. Entah mengapa semenjak kuliah hidup gue semakin kacau dan tidak teratur, harus gue akui itu. Saat-saat gue merasaai sepi dan tidak mempunyai kegiatan apapun, gue sangat bingung, di SMA gue ga punya waktu untuk ga ngapa-ngapain. sekarang, malah gue selalu punya waktu untuk ga ngapa-ngapain. Sesaat sebelum gue mau posting tulisan ini pun gue sedang bingung untuk "ngapain", akhirnya gue putuskan untuk melakukan hal produktif, yaitu "curhat" di blog ini.

Mungkin cerita ini bermula ketika gue baru selesai Ujian Nasional saat itu, yang kurang lebih 2-3 bulan sekolah "diliburkan", bukan dalam arti sebenarnya libur, tetapi dikarenakan murid-murid saat itu tidak punya kegiatan lain di sekolah selain menunggu hasil Ujian Nasional. Setelah kelulusan diumumkan pun gue tetap libur. Kali ini ini libur dalam ari sebenarnya. Gue nunggu masuk kuliah yang baru masuk pada bulan September.

Awal mulai kuliah pun gue begitu takjub dengan jadwal kuliah yang tidak sepadat sekolah dulu. Gue terpesona dan terlalu berleha-leha. gue ga bisa bangun pagi dan selalu tidur menjelang subuh. Akibatnya satu mata kuliah di hari sabtu yang mulai kuliah jam 7:20 pun harus gue relakan. Maksimal absen gue lewati di mata kuliah itu. Bukan hanya itu juga, gue melewati UAS salah satu mata kuliah gue hanya untuk pacaran. walau sebenernya ikut tidak ikut gue tau gue ga akan lulus mata kuliah itu. Tapi semenjak kapan gue merelakan studi gue demi pacaran? first in my life. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak, IP gue cuman 0.8 (nol koma delapan).

DEG! Gue hampir nangis ketika gue tau IP gue separah itu. ini pertama kalinya dalam sejarah hidup gue, dapet nilai yang ga nyampe 25% dari total nilai. Gue nangis, sangking frustasinya gue sms temen-temen deket gue kalo gue dapet IP 0.8. Ya, gue sms kaya gitu karena gue butuh dukungan mereka, dan Alhamdulillah temen-temen gue mensemangati gue.

Gue berusaha agar orang tua gue tidak tau tentang nilai gue ini. Gue sangat malu! Tapi gue berubah pikiran karena gue dikasih tau kalo nanti bakal ada surat dari binus yang isinya tentang nilai akademis gue. Mau ga mau gue harus ngasih tau nilai gue duluan ke orang tua gue sebelum merka tau dari surat itu. Ya tentu saja orang tua gue sangat-sangat kecewa mengetahui nilai gue itu. Tapi kakak-kakak gue membela gue, karena mereka meyakini orang tua gue kalo gue itu terpesona dengan masa sma gue dan terkejut dengan cara belajar di perkuliahan.

Oke selesai, semester 2 gue lewati dengan penuh semangat karena dendam di semester satu. Gue malu sama orang tua gue kalo dapet nilai yang jeblok lagi. Syukurlah di semeseter ini gue dapet IP 2.55. gue seneng, walaupun nilai ini belum bagus gue tapi ini merupakan peningkatan yang sangat luar biasa buat gue. dari 0.8 menjadi 2.70.

Semester 3 nilai gue kembali terjerembab. Gue cuman dapet IP 1.96. Salah satu penyebabnya karena kebencian gue kepada dosen mata kuliah Anapersis saat itu. Entahlah siapa namanya yang jelas ini dosen menurut gue ga bisa ngajar, rajin ngasih tugas, dan yang terakhir pelit nilai. gue menyerah di mata kuliah dia saat selesai uts. Di pertemuan pertama selesai UTS dia mengumumkan nilai-nilai mahasiswa sekelas, sebagian besar mendapat =

Tak sampai di situ, sang dosen pun memberikan tugas yang kata dia buat memmbantu nilai UAS entar.  Tugas itu butuh survey ke sebuah organisasi/perusahaan yaang mempunya badan hukum. Tetapi dia tidak mengeluarkan surat survey. Di situ lah gue mulai memutuskan untuk menyerah.

Sebelas berbanding dua belas Dosen Anapersis ini, salah satu  Asistan Lab yang sering disingkat Aslab ini (yang merupakan mahasiswa yang dibayar untuk mengajar Praktikum) Anapersis pun berkelakuan seperti itu. Aslab ini mengira mahasiswa-mahasiswa yang diajar adalah mahasiswa dengan kemampuan yang luar biasa dengan sekali mengajar langsung mengerti.  Dia tidak mau tau kenapa mahasiswa yang diajarnya tidak bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikannya. Pun setelah nilai Ujian Tengah Praktek (UTP) keluar sang aslab malah mencak-mencak kepada mahasiswa di kelas gue. Gue frustasi dengan mata kuliah itu.

Semester empat gue kembali pada semangat gue di semester dua. Gue ga mau nilai gue anjlok lagi seperti di semester tiga. Singkatnya di semester 4 gue mendapat IP 2.83 (dua koma delapan tiga), tertinggi selama gue kuliah.

Sekarang gue memasuki semester lima yang hampir memasuki babak akhir (baca: UAS). Jangankan nilai akhir, UAS pun belum, tapi gue sudah bisa menebak hasil akhir di semester lima ini. yang pasti tidak sebagus di semester empat. Bahkan mungkin nilai gue hampir sama seperti di semester dua. Ini dikarenakan gue sengaja melepas mata kuliah Minor gue.

Gue frustasi dengan mata kuliah ini. Dengan dosen pebimbing yang tidak konsisten dengan omongannya. Dan selalu menakut-nakuti mahasiswanya. Hingga perusahaan-perusahaan yang gue coba untuk survey. Gue menyerah ketika teman gue menyuruh gue mengerjakan sesuatu yang sebenernya gue bisa tapi gue ga sanggup karena waktu yang sangat terbatas dan gue ga begitu paham dengan perusahaan yang diambil sebagai bahan minor kelompok gue. Gue pesimis minor kelompok gue akan layak sidang. Gue pun ga tahan dengan tekanan teman sekelompok gue. Akhirnya gue putuskan untuk sengaja tidak masuk lagi di kelas mata kuliah minor gue.

Mungkin gue terlalu idealis yang ga mau maju dengan Laporan minor gue yang ga jelas. Atau mungkin gue yang sangat mudah menyerah yang tidak mau berjuang hingga titik terakhir.

Kelompok gue tetap maju hingga sidang Minor dan mendapatkan nilai C tanpa gue dan satu teman gue. Gue mengucapakan selamat kepada (mantan) kelompok minor gue. Maafkan gue telah gagal menjadi ketua kelompok dan memberikan arahan. Maaf gue terlalu meremehkan minor ini. Maaf gue terlalu mudah menyerah. Intinya GUE MINTA MAAF buat Galih, Lidya, dan Ario. Gue berperan sangat besar kenapa Minor kalian cuman dapet C.

Dengan hilang 6 SKS dari 20 SKS semester ini, maka tentu sudah tertebak IP gue di semester lima ini berkisaran di angka berapa.

Gue berhitung-hitung ada berapa mata kuliah yang harus gue ulang dengan SKS-nya. Otomatis gue juga menghitung waktu dan biaya yang harus bayar. Mungkin gue ga akan bisa memenuhi misi BiNus yang mahasiswanya kuliah tidak lebih dari empat tahun.

Tapi gue ga mau kembali terlena pada masa-masa jahiliyah gue di semester ganjil semasa kuliah gue. Ya gue selalu terporosok ke dalam kubangan bencana buat kuliah gue selalu di semester ganjil, semester satu, tiga, dan sekarang lima. Gue harus memulai mengisi waktu-waktu gue dengan hal-hal yang produktif. sebagai langkah awal ya gue posting tulisan ini.

Doakan saja semoga gue bisa bangkit dan tidak pernah jatuh lagi (walaupun jatuh tidak separah yang dulu). Semoga gue mulai sekarang tidak menyalahkan keadaan (dosen, teman, dll) karena keterpurukan gue ini.
AAMIIN.

AYO BANGKIT!!

Kamis, 22 Desember 2011

Polisi Tidak Berhak Menilang Karena Pajak STNK Mati

Maaf ini postingan punya orang gue izin copas di sini. soalnya beberapa bulan yang lalu gue pernah kena tilang gara2 pajak stnk motor (kakak) gue mati. Alhasil gue harus mengeluarkan dua puluh ribu rupiah untuk memuluskan perjalanan gue. Well, karena itulah gue mau membagi informasi ini kepada kalian yang belum tahu. jangan sampai jadi korban ketidaktahuan seperti gue! :D
--------------------------------
Menurut apa yang tertulis dalam Undang-Undang Lalulintas No.14 Tahun 1992 itu, polisi hanya boleh menilang pelanggaran yang bersangkutan dengan kelengkapan kendaraan. “Misalnya, lengkap surat-menyuratnya (SIM dan STNK), ada lampunya, lalu lampu sein menyala, dan seterusnya,” tutur Iwan.

Berdasarkan aturan itu juga, cuma polisi yang berhak mengambil tindakan terhadap pelanggaran yang terjadi di jalanan.

Eh, ini urusan Dispenda

Setelah Undang-undang itu dilaksanakan, ada instruksi bersama antara Menhankam, Mendagri, dan Menkeu tentang Sistem Administrasi Negara di Bawah Satu Atap. Kesepakatan inilah yang berkaitan dengan pajak kendaraan. Kesepakatan yang terjadi pada tahun 1990 itu masih berlaku sampai sekarang. “Jadi, polisi secara resmi terlibat, tapi dengan semangat mengamankan pendapatan Negara,” ujar Iwan lagi.

Meski begitu, selama menyangkut pajak kendaraan, polisi hanya berwenang menghentikan kendaraan dan menanyakan status pajak. Jika ternyata memang belum membayar pajak, polisi hanya boleh mencatat surat kendaraan. “Data tersebut diserahkan kepada Dispenda setempat,” kata Rahmat Ahyar, Wakil Kepala Dispenda DKI Jakarta.

Bisakah polisi menilang gara-gara soal pajak ini? “Kalau mengikuti undang-undang sebenarnya tidak bisa. Soal pajak itu urusannya Dispenda,” kata Iwan. Berkaitan dengan soal pajak ini, polisi tidak bisa menyita STNK atau SIM, apalagi hingga menahan mobil atau motor yang dimaksud.

Hal ini dibenarkan oleh Direktur Lalulintas Polda Metro Jaya, Djoko Susilo. “Masalah pajak bukan urusan polisi, tapi Dispenda. Kalau masalah pajak polisi enggak berhak menilang,” kata Djoko.

Bahkan, seandainya pembayar pajak yang telat ini pas kena razia di jalanan umum, polisi tetap tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau semua surat lengkap dan gak ada masalah, ya, enggak bisa ditilang,” ucapnya.

Jika si polisi tetap mengambil tindakan menilang, Djoko menyarankan agar si pengendara mengajukan komplain secara resmi. Pengendara bisa mencatat nama polisi yang tertera di seragam dan melaporkan kepada yang berwenang.

Mengenai Surat Tilang:

saat menilang, polisi memiliki dua kertas: biru dan merah. Warna biru artinya pengendara mengakui kesalahan, sedangkan merah berarti pengendara tidak mengakui kesalahan Konsekuensinya pun berbeda. “Kalau yang merah untuk pengadilan. Yang biru untuk ke bank,” kata Djoko Susilo, Direktur Lalulintas Polda Metro Jaya.

Kalau Agan memilih warna biru, proses yang akan dilalui mudah. Yakni, datang ke bank dan membayar denda sesuai ketentuan. “Ada daftar jenis pelanggaran dan dendanya,”

Dengan bukti pembayaran dari bank, agan bisa mengambil surat yang disita polisi. Walhasil, Agan pun bisa mengirit waktu.

Sementara, kalau berkas merah yang dipilih, Agan harus datang ke pengadilan. Hanya saja, di pengadilan, Agan boleh membayar di bawah ketentuan denda jika sedang bokek. “Kalau lewat pengadilan bisa kurang”

------------------
sumber : http://masuta-fenesia.blogspot.com/2011/12/pajak-kendaraan-anda-mati-tenangpolisi.html?showComment=1324499999157#c8224443132358476832

Senin, 12 September 2011

Apa Salah Orang Kampung?


Hati gue gusar ketika orang-orang di twitter rame mengaitkan perilaku negatif sesorang dengan label “orang kampung”, “orang udik”, “kampungan”. Kejadian ini tepatnya terjadi saat pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Bahrain pada tanggal 6 september 2011. Saat itu Indonesia Dalam keadaan tertinggal 2-0, entah karena kecewa dengan penampilan timnas atau mungkin karena sudah terlanjur membeli, beberapa oknum supporter menyalakan kembang api di dalam stadion. Kenapa saya katakan "terlanjur membeli", petasan/ kembang api dan sepakbola seperti sudah mejadi kultur dalam sepakbola kita. Mau kalah atau menang “pertunjukkan” petasan hampir selalu menemani pada laga demi laga dalam pertandingan sepakbola kita. Dan kebiasan supporter itu terbawa pada laga Internasional Tim Nasional Indonesia pada pra piala dunia zona asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno kemarin. 

Ternyata, sebelumnya FIFA melalui AFC sudah menghimbau dan memberi peringatan keras bahwa tidak ada toleransi untuk kembang api ini pada pertandingan Internasional. Maka dapat dimaklumi bahwa wasit yang mengadili laga Indonesia ini ingin menghentikan pertandingan karena ulah oknum supporter yang menyalakan kembang api, bahkan ada kembang api yang diarahkan ke arah pemain Bahrain yang sedang melakukan pemanasan di belakang gawang.

Lalu di twitter ramelah dengan hujatan-hujatan kepada ulah oknum supporter itu, sebenernya gue juga sangat tidak setuju dengan yang dilakukan oknum supporter tersebut. Tapi hati ini risih dan gelisah ketika hujatan-hujatan yang dilontarkan itu melabeli kata-kata “orang kampung”, “orang udik”, dan “kampungan” kepada oknum supporter ini.

Apa salah orang kampung, orang udik, dan orang yang kampungan dalam hal ini? Gue ga menemukan poinnya di sini kenapa orang-orang di twitter meracau seperti itu. Seakan-akan orang kampung itu selalu berhubungan dengan hal-hal yang negatif. Padahal banyak sekali orang (yang berasal dari) kampung di kota2 besar di Indonesia. Ga percaya? Hitung sendiri jumlah orang yang mudik pada menjelang lebaran.  Mereka dengan bangganya mudik. Mudik dalam kbbi berarti “pulang ke udik”.  Apakah karena kebanyakan dari kita (mengannggap) orang kota. Sehingga ada gap yang besar antara orang kota dan orang kampung. Gap (jarak)  yang terjadi adalah dari postif ke negatif, negatif dimiliki orang kampung dan positif dimilik orang kota. Padahal yang melakukan korupsi secara masif di negeri ini siapa? Orang kampung tentu tidak mampu melakukan hal tersebut.

Gue sebagai manusia biasa yang sok tau yang hanya ingin menghimbau kepada orang-orang (yang merasa) kota untuk berhenti melabeli orang kampung dengan hal-hal yang negatif. Sudah saatnya kita beranjak dewasa. Sudah saatnya kita menghilangkan penggunaan kata yang tidak bersifat negatif untuk hal negatif.

segala saran dan kritik akan gue terima dengan gembira.

Wassalam!

Senin, 20 Juni 2011

Penampilan Baru

WAW!
Udah ga kerasa hampir 4 bulan gue ga memperbaharui postingan di blog gue ini. Dulu gue sih ga peduli menganai tampilan/template pada blog gue ini, tapi karena ada yang bilang kalo ngeliat blog gue itu rasanya langsung pengen close tab akhirnya gue merasa tersentil.
Kebetulan ada seseorang teman yang menurut gue cukup menguasai keterampilan dalam memperindah tampilan blog ini sedang online di yahoo! messanger. Gue beranikan diri untuk bertanya-tanya sama sesosok perempuan yang sedang menampakan di ym gue. akhirnya dia ngasih semacam tutorial tidak langsung ke gue untuk setidaknya gue memperbaiki atau memperindah template pada blog gue ini.
Setelah bergelut selama kurang lebih 2 jam, akhirnya jadilah tampilan blog gue seperti yang sekarang ini.

-Terima kasih kepada Hesti Haerani (@stihesti) atas bantuan tutorial tidak langsungnya.

Selasa, 29 Maret 2011

What's more important - who you know or what you know?

what i know

you get what you ask

Rabu, 02 Februari 2011

FPI vs MEDIA

Oke, gue tau, prespektif gue kali ini akan melawan arus atau mainstream dari orang kebanyakan. gue agak risih dengan tweet2 orang di twitter, yang paling terbaru adalah kasus ariel vs gayus. Kebanyakan orang-orang menghujat FPI karena mereka paling gencar mengadakan demonstrasi di pengadilan tinggi Bandung. Banyak kalangan yang menuntut Ariel Peterpan ini dibebaskan, alasannya mereka sederhana, masalah moral itu menjadi urusan individu masing-masing dengan Tuhannya. benarkah begitu keadaannya?
Sekarang kita fokus ke judul. Seberapa besarkah peran FPI vs MEDIA dalam mempengaruhi masyarakat untuk bertaindak negatif? gue punya cerita dari temen gue yang kuliah di makassar, katanya, di sana itu hanya dengan status "teman" mereka bisa meraba-raba (maaf) dada teman wanitanya. Di Jakarta? jujur saya belum pernah menemukannya. Lain lagi cerita teman saya dari Semarang, anak cowo SMA di sana di malam minggu hanya memikirkan bagaimana mendapat pinjaman motor dan mempunyai uang. tujuannya? Untuk bisa mengajak jalan-jalan sang kekasih dan pada akhirnya berakhir di hotel melati. tidak percaya? silahkan buktikan sendiri.
Percaya atau tidak, perilaku para abg-abg itu sangat dipengaruhi oleh media! yah, media yang menggiring opini dan mendoktrin bahwa keperjakaan dan keperawanan itu menjadi hal yang tidak tabu dan tidak penting.
"colok" sana-sini itu menjadi hal yang lumrah.
Sekarang kita ke FPI, FPI sering dihujat karena anarkisme-nya, pukul sana-sini tidak pandang bulu, yang paling menghebohkan ada peristiwa HKBP Ciketing yang pendetanya mendapat bogem mentah dari anggota FPI, FPI dinilai tidak mempunyai perasaan, akhirnya FPI dituding ormas bayaran yang dibayar untuk merusak citra Islam. Siapa yang menuding seperti itu? merekalah orang-orang yang menuntut dibebaskannya ariel.
Lalu apa peran media dalam kasus FPI? Sekarang media kebanyakan, termasuk media-media yang mempunya kredibilitas tinggi berprinsip "good news is no news, bad news is good news". berita FPI demonstrasi menolak pornografi dan sekte-sekte agama selalu menjadi headline di semua media, diberitakan demonstrasi berjalan rusuh. padahal kenyataannya belum tentu seperti itu. Kenapa media mencritakan demonstrasi FPI itu rusuh? Bayangkan image FPI yang sudah terbentuk saat ini, sebagai ormas keagamaan yang anarki. Jika demonstrasi FPI ini yang sebenarnya berjalan damai dan tertib, lalu diangkat menjadi "berita" dengan menggambarkan keadaan yang sebenarnya, yakinlah hanya sedikit orang yang akan membacanya, tapi jikalau demonstrasi yang berjalan damai itu  "diberitakan" berjalan rusuh, maka masyarakat akan sangat tertarik untuk membacanya. Sekarang seberapa banyak orang yang tau bahwa FPI adalah ormas atau lsm yang paling banyak mencari korban dan menguburnya saat peristiwa tsunami di Aceh dan Sumatra Utara? Tidak percaya? Silahkan cek datanya di kantor Gubernur Aceh. Pernahkah anda membaca/menonton media (pada saat itu) yang mengangkat berita ini menjadi "berita"? saya rasa tidak ada. Contoh lain ketika FPI bentrok dengan kelompok tertentu, seberapa besrkah porsi yang memberitakan dari sudut pandang FPI? Silahkan nilai sendiri :) .

*mohon maaf apabila tidak nyambung antara judul dan isi, atau antara kalimat satu dengan kalimat setelah dan/ atau sesudahnya. Penulis masih amatir, mohon bimbingannya :D*
 
Copyright (c) 2010 INI BURUNGKU, MANA BURUNGMU?. Design by WPThemes Expert

Themes By Buy My Themes And TM Web Design.