Hati gue gusar ketika orang-orang di twitter rame mengaitkan perilaku negatif sesorang dengan label “orang kampung”, “orang udik”, “kampungan”. Kejadian ini tepatnya terjadi saat pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Bahrain pada tanggal 6 september 2011. Saat itu Indonesia Dalam keadaan tertinggal 2-0, entah karena kecewa dengan penampilan timnas atau mungkin karena sudah terlanjur membeli, beberapa oknum supporter menyalakan kembang api di dalam stadion. Kenapa saya katakan "terlanjur membeli", petasan/ kembang api dan sepakbola seperti sudah mejadi kultur dalam sepakbola kita. Mau kalah atau menang “pertunjukkan” petasan hampir selalu menemani pada laga demi laga dalam pertandingan sepakbola kita. Dan kebiasan supporter itu terbawa pada laga Internasional Tim Nasional Indonesia pada pra piala dunia zona asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno kemarin.
Ternyata, sebelumnya FIFA melalui AFC sudah menghimbau dan memberi peringatan keras bahwa tidak ada toleransi untuk kembang api ini pada pertandingan Internasional. Maka dapat dimaklumi bahwa wasit yang mengadili laga Indonesia ini ingin menghentikan pertandingan karena ulah oknum supporter yang menyalakan kembang api, bahkan ada kembang api yang diarahkan ke arah pemain Bahrain yang sedang melakukan pemanasan di belakang gawang.
Lalu di twitter ramelah dengan hujatan-hujatan kepada ulah oknum supporter itu, sebenernya gue juga sangat tidak setuju dengan yang dilakukan oknum supporter tersebut. Tapi hati ini risih dan gelisah ketika hujatan-hujatan yang dilontarkan itu melabeli kata-kata “orang kampung”, “orang udik”, dan “kampungan” kepada oknum supporter ini.
Apa salah orang kampung, orang udik, dan orang yang kampungan dalam hal ini? Gue ga menemukan poinnya di sini kenapa orang-orang di twitter meracau seperti itu. Seakan-akan orang kampung itu selalu berhubungan dengan hal-hal yang negatif. Padahal banyak sekali orang (yang berasal dari) kampung di kota2 besar di Indonesia. Ga percaya? Hitung sendiri jumlah orang yang mudik pada menjelang lebaran. Mereka dengan bangganya mudik. Mudik dalam kbbi berarti “pulang ke udik”. Apakah karena kebanyakan dari kita (mengannggap) orang kota. Sehingga ada gap yang besar antara orang kota dan orang kampung. Gap (jarak) yang terjadi adalah dari postif ke negatif, negatif dimiliki orang kampung dan positif dimilik orang kota. Padahal yang melakukan korupsi secara masif di negeri ini siapa? Orang kampung tentu tidak mampu melakukan hal tersebut.
Gue sebagai manusia biasa yang sok tau yang hanya ingin menghimbau kepada orang-orang (yang merasa) kota untuk berhenti melabeli orang kampung dengan hal-hal yang negatif. Sudah saatnya kita beranjak dewasa. Sudah saatnya kita menghilangkan penggunaan kata yang tidak bersifat negatif untuk hal negatif.
segala saran dan kritik akan gue terima dengan gembira.
Wassalam!
0 komentar:
Posting Komentar